Konstan.co.id – Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat menggelar sidang perkara dugaan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang dalam kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang dilakukan oleh PT. Duta Palma Group di Kabupaten Indragiri Hulu, Rabu (18/1).
Sidang itu beragendakan pemeriksaan ahli a de charge dengan terdakwa Surya Darmadi dan Raja Thamsir Racman.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Ketut Sumedana mengungkapkan bahwa saksi ahli yang dihadirkan itu ialah Herban Heryandana S.Hut., M.Sc.
“Herban Heryandana S.Hut., M.Sc merupakan Direktur Pegukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan pada Direktorat Jenderal Planologi Kuhutanan dan Tata Lingkungan,” ujar Ketut dalam keterangannya yang diterima Konstan.co.id, Kamis (19/1).
Di dalam persidangan, kata Ketut, saksi ahli memaparkan beberapa hal didepan majelis hakim.
Pada pokoknya menerangkan:
· Bahwa untuk perusahaan yang memiliki Izin Lokasi (ILOK) dan Izin Usaha Pertambangan, belum dapat melakukan aktivitas bila masuk dalam kawasan hutan, sehingga harus dilakukan pelepasan kawasan terlebih dahulu.
· Untuk 5 perusahan milik PT Duta Palma Grup, berdasarkan data di Direktorat Jenderal Planologi Kuhutanan dan Tata Lingkungan masuk dalam kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi (HPK) dan Hutan Produksi Terbatas (HPT).
· Terkait dengan Undang-Undang Cipta Kerja, sebelum dilakukan pelepasan kawasan, dilakukan perhitungan Provinsi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan atau Dana Reboisasi (DR), dan perizinan pemanfaatan hutan yang diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 dengan Cipta kerja adalah sama, dan bukan termasuk untuk perizinan perkebunan karena perkebunan bukan merupakan kegiatan pemanfaatan hutan.
Sebelumnya, pada Senin 16 Januari 2023 yang lalu, Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat juga menggelar sidang pemeriksaan ahli a de charge.
Dua orang saksi a de charge itu yakni Dr Lingk. R Sholikhin Arifin, CN yang merupakan ahli Pertanahan. Lalu, Prof Dr. IR Sudarsono selaku Ahli Manajemen Hutan.
Didepan mejelis hakim, saksi ahli Dr Lingk. R Sholikhin Arifin, CN menerangkan bahwa kawasan hutan secara domain dikuasai negara dan berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999, domain kewenangannya ada pada Kementerian Kehutanan. Kemudian untuk pemanfaatan kawasan hutan, harus ada izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan sehingga kawasan hutan berubah statusnya menjadi area penggunaan lain (APL). Setelah itu, sertifikat hak pengelolaannya diterbitkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
Lalu, yang berwenang menunjuk kawasan hutan adalah Kementerian Kehutanan di Provinsi Riau (dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan beserta perubahannya) bukan Pemerintah Daerah dengan Peraturan Daerah (Perda).
Pemerintah Daerah melalui Peraturan Daerah diberikan kewenangan untuk menentukan kawasan hutan, namun penentuan peta pada Peraturan Daerah harus terintegrasi dan sesuai dengan peta yang diterbitkan oleh Kementerian Kehutanan.
Bahwa antara perizinan pemanfaatan hutan yang diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 41 tahun 1999 dengan Cipta Kerja adalah sama, dan bukan termasuk untuk perizinan perkebunan karena perkebunan bukan merupakan kegiatan pemanfaatan hutan.
Sementara itu, Prof Dr. IR Sudarsono memaparkan bahwa yang berhak melakukan penunjukan kawasan hutan adalah Pemerintah Pusat.
Surat Ketetapan (SK) Menteri Kehutanan berupa Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) beserta perubahannya, bukan menunjukan hal itu adalah kawasan hutan. Sebab untuk ditetapkan sebagai kawasan harus melalui proses tahapan dan hal tersebut untuk Provinsi Riau belum ada ditetapkan kawasan hutan, sehingga hal yang dilakukan oleh 5 perusahaan milik terdakwa Surya Darmadi adalah sah dan tidak melanggar hukum.