Konstan.co.id -Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Barat mencatat terjadi penyusutan luas kawasan hutan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kampar di Kabupaten Limapuluh Kota sejak 2017 lalu. Akibatnya, ketersediaan air PLTA Koto Panjang bisa terancam.
Kepala Departemen dan Advokasi Walhi Sumbar Tommy Adam mengatakan, luas hutan di kawasan itu menyusut akibat peralihan fungsi menjadi lahan perkebunan dan pertambangan.
Penyusutan hutan, kata dia, akan berdampak terhadap keberlanjutan DAS Kampar yang selama ini menopang pasokan air untuk PLTA Koto Panjang.
“Agar kawasan hutan dan DAS tak beralih fungsi, maka masyarakat yang selama ini menggantungkan perekonomian ke hutan harus dicarikan alternatif pekerjaan yang lain,” katanya saat Lokakarya bertajuk Pengelolaan Hulu DAS Kampar untuk Menjamin SDA Berkelanjutan di Dinas Kehutanan Sumbar, Rabu (14/12/2022), Dilansir dari langgam.id.
Walhi dalam beberapa tahun belakangan aktif mendampingi masyarakat yang tinggal di sekitaran DAS Kampar di Kabupaten Limapuluh Kota, tepatnya di Nagari Tanjung Pauah.
Pendampingan yang dilakukan Walhi Sumbar, diklaim Tommy berhasil mengalihkan mata pencarian masyarakat dari yang semula mengambil kayu dari hutan ke unit usaha lain.
“Salah satunya dengan membangun unit usaha ikan bungo aia yang merupakan ikan endemik di sekitaran waduk PLTA Koto Panjang,” katanya.
Setiap bulan, warga mampu mengirim ratusan kilo ikan bungo aia kemasan ke luar daerah.
“Sebelum melarang masyarakat beraktivitas di hutan atau di DAS, maka siapkan dulu alternatif perekenomian yang lain,” tuturnya.
Hal yang sama juga disampaikan Anggota Forum DAS Sumbar, Firman Hidayat. Ia menjelaskan lebih dari 50 persen kawasan DAS Kampar yang memiliki luas 330 ribu hektare kini dalam keadaan kritis.
Keadaan ini membawa dampak bencana ekologi, seperti banjir. Menurutnya, degradasi lahan akibat pembukan lahan untuk perkebunan menjadi salah satu penyebab utama kritisnya DAS Kampar Limapuluh Kota.
Di Mahat Limapuluh Kota, mayoritas masyarakat menggantungkan hidup ke gambir. Pengolahan gambir ini membutuhkan kayu yang sangat banyak sebagai bahan bakar. Kayu yang digunakan itu adalah kayu yang diambil dari kawasan hutan.
“Ini yang harus dicarikan solusi secepatnya, agar kayu di hutan tidak lagi diambil secara serampangan,” tuturnya.