Konstan.co.id – Kejaksaan Tinggi Riau mengikuti Video Conference ekspose pengajuan penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dengan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI Dr. Fadil Zumhana, SH., MH, Direktur OHARDA pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI Agnes Triani, SH., MH dan Koordinator pada Jampidum Kejaksaan RI, Selasa (15/11).
Ekspose tersebut langsung dihadiri oleh Kajati Riau, Dr. Supardi, Wakajati Akmal Abbas, SH., MH, Asisten Tindak Pidana Umum Kejati Riau Martinus, SH, Koordinator Bidang Tindak Pidana Umum, Ke Sunandar Pramono, SH., MH dan Kasi OHARDA pada Asisten Tindak Pidana Umum, Faiz Ahmed Illovi, SH. MH.
Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif ini diusulkan oleh Kejaksaan Negeri Siak dengan tersangka bernama Irawadi alias Bin Silis dengan perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Kepala Kejaksaan Negeri Siak menerbitkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKP2) berdasarkan keadilan restoratif justice sebagai perwujudan kepastian hukum berdasarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Sebelumnya Irwandi dikenakan dengan Pasal 44 ayat (1) Jo pasal 5 huruf a UU 23 th 2004 ttg Penghapusan KDRT, Subsidiair : Pasal 44 ayat (4) UU 23 th 2004 tentang Penghapusan KDRT.
Kasi Penkum Kejati Riau, Bambang Heripurwanto mengungkapkan bahwa Restoratif Justice telah disetujui oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI dengan berbagai pertimbangan.
Dalam pertimbangan itu, RJ ini telah memenuhi Pasal 5 Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor : 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran Jampidum Nomor : 01/E/EJP/02/2022 Tanggal 10 Februari 2022 tentang pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum.
“Alasan pemberian penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif diberikan yakni telah dilaksanakan proses perdamaian dimana tersangka telah meminta maaf kepada korban dan korban sudah memberikan maaf kepada tersangka, tersangka belum pernah dihukum, tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana, ancaman pidana denda atau pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun, tersangka berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya, proses perdamaian dilakukan secara sukarela (tanpa syarat) dimana kedua belah pihak sudah saling memaafkan dan tersangka berjanji tidak mengulangi perbuatannya dan korban tidak ingin perkaranya dilanjutkan ke persidangan, serta masyarakat merespon positif penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif,” terang Bambang.