Sroll Baca Artikel
BeritaDaerahHukrim

Kasus Impor Gula yang Libatkan Tom Lembong

138
×

Kasus Impor Gula yang Libatkan Tom Lembong

Sebarkan artikel ini
Eks Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong, yang ditetapkan tersangka oleh Kejaksaan Agung. (Foto: Istimewa)

Konstan.co.id – Kejaksaan Agung menetapkan dua tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pada kegiatan importasi gula di Kementerian Perdagangan tahun 2015 sampai dengan 2016, Selasa (29/10/2024) petang. Perkara ini diketahui melibatkan mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong.

Penetapan tersangka ini setelah pihak Kejaksaan Agung melakukan penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jampidsus Nomor: Prin-54/F.2/Fd.2/10/2023 tanggal 03 Oktober 2023.

banner 468x60

“Adapun kedua tersangka tersebut yaitu TTL selaku Menteri Perdagangan periode 2015 sampai dengan 2016 dan CS selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI),” ujar Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar dalam keterangan tertulis yang diterima Konstan.co.id, Rabu (30/10/2024).

Harli membeberkan kasus posisi hingga adanya penetapan dua tersangka tersebut. Dia mengatakan bahwa pada tahun 2015 berdasarkan rapat koordinasi antarkementerian tanggal 12 Mei 2015 telah disimpulkan bahwa Indonesia mengalami surplus gula, sehingga tidak membutuhkan impor gula.

Akan tetapi, pada tahun 2015 Menteri Perdagangan tersangka TTL memberikan izin Persetujuan Impor (Pl) gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton kepada PT AP untuk mengolah Gula Kristal Mentah (GKM) menjadi Gula Kristal Putih (GKP).

“Sesuai dengan Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 527 tahun 2004, yang diperbolehkan impor GKP adalah BUMN. Tetapi berdasarkan Persetujuan Impor yang dikeluarkan oleh Tersangka TTL dilakukan oleh PT AP dan Impor GKM tersebut tidak melalui Rakor dengan instansi terkait serta tanpa adanya rekomendasi dari Kementerian Perindustrian guna mengetahui kebutuhan gula dalam negeri,” tuturnya.

Kemudian, lanjut Harly, pada tanggal 28 Desember 2015, dilakukan Rakor Bidang Perekonomian yang dihadiri oleh kementerian di bawah Kemenko Perekonomian. Salah satu pembahasannya adalah bahwa Indonesia pada tahun 2016 kekurangan GKP sebanyak 200.000 ton dalam rangka stabilisasi harga gula dan pemenuhan stok gula nasional.

Sementara itu, pada bulan November-Desember 2015, tersangka CS selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI memerintahkan Staf Senior Manager Bahan Pokok PT PPI untuk melakukan pertemuan dengan delapan perusahaan gula swasta, yaitu PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, dan PT MSI di Gedung Equity Tower SCBD sebanyak empat kali.

Pertemuan itu guna membahas rencana kerja sama impor GKM menjadi GKP antara PT PPI dan delapan perusahaan gula swasta, yang juga atas sepengetahuan dan Direktur Utama PT PPI saat itu.

“Lalu pada bulan Januari 2016, tersangka TTL menandatangani Surat Penugasan kepada PT PPI yang berisi penugasan kepada PT PPI untuk melakukan pemenuhan stok gula nasional dan stabilisasi harga gula, melalui kerja sama dengan produsen gula dalam negeri untuk memasok atau mengolah GKM impor menjadi GKP sebanyak 300.000 ton,” ungkap Harli.

Selanjutnya, Harli mengemukakan bahwa PT PPI kala itu membuat perjanjian kerja sama dengan delapan perusahaan gula swasta ditambah satu perusahaan swasta lainnya yaitu PT KTM, meskipun seharusnya dalam rangka pemenuhan stok gula dan stabilisasi harga, yang diimpor adalah GKP secara langsung, dan yang dapat melakukan impor tersebut hanya BUMN (PT PPI).

Lalu, atas sepengetahuan dan persetujuan tersangka TTL, Persetujuan Impor GKM ditandatangani untuk sembilan perusahaan swasta.

Seharusnya, kata Harli, untuk pemenuhan stok dan stabilisasi harga, yang diimpor adalah GKP secara langsung. Selain itu, Persetujuan Impor dari Kementerian Perdagangan diterbitkan tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian dan tanpa rapat koordinasi dengan instansi terkait.

“Jadi Kedelapan perusahaan swasta yang mengolah GKM menjadi GKP memiliki izin industri sebagai produsen Gula Kristal Rafinasi (GKR) yang diperuntukkan bagi industri makanan, minuman, dan farmasi,” paparnya.

Setelah kedelapan perusahaan swasta tersebut mengimpor dan mengolah GKM menjadi GKP, PT PPI seolah-olah membeli gula tersebut, padahal gula tersebut dijual oleh perusahaan swasta ke masyarakat melalui distributor dengan harga Rp 16.000/kg, lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi yang sebesar Rp 13.000/kg, dan tidak dilakukan melalui operasi pasar,” imbuhnya.

“Dari pengadaan dan penjualan GKM yang diolah menjadi GKP, PT PPI mendapatkan fee dari delapan perusahaan yang mengimpor dan mengolah GKM sebesar Rp 105/kg,” sambung Harli.

Harli juga mengaku bahwa Kerugian negara yang timbul akibat perbuatan tersebut mencapai ratusan miliar.

Nilai itu muncul dari keuntungan yang diperoleh delapan perusahaan swasta yang seharusnya menjadi milik negara/BUMN (PT PPI). “Kerugian negaranya Rp 400 miliar,” pungkas Harli.

error: Artikel ini diproteksi