Konstan.co.id – Jaksa Agung melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Dr. Fadil Zumhana menyetujui 6 permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, Selasa (17/1).
Enam 6 permohonan penghentian penuntutan dari beberapa Kejaksaan itu yakni atas nama tersangka Arron Syah Malik alias Arron dari Kejaksaan Negeri Minahasa Selatan yang disangka melanggar Pasal 80 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang RI dan Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Kedua, tersangka Gevandri Satria Bayu Makatempuge dari Kejaksaan Negeri Kepulauan Sangihe yang disangka melanggar Pasal 360 Ayat (1) KUHP subsidair Pasal 360 Ayat (2) KUHP tentang Kelalaian yang Menyebabkan Luka Berat.
Ketiga tersangka Ceacar Masinabow alias cesar dari Kejaksaan Negeri Minahasa Selatan yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Keempat tersangka Shaleh Mokhan alias Sebe dari Kejaksaan Negeri Halmahera Tengah yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Kelima tersangka Roni Ramdani Bin Komarudin dari Kejaksaan Negeri Garut yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
Keenam tersangka Iksan Permana Bin Muslih dari Kejaksaan Negeri Sumedang yang disangka melanggar Pasal 480 ke-1 KUHP tentang Penadahan.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung) Ketut Sumedana mengemukakan bahwa pemberian penghentian penuntutan dilakukan sudah melalui berbagai pertimbangan.
Pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf.
Lalu tersangka belum pernah dihukum, tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana.
“Kemudian ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun, tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya, proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi, tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar, kemudian pertimbangan sosiologis, masyarakat merespon positif,” tutur.
“Kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” jelas Jampidum.